Pages

Subscribe:

Labels

Rabu, 29 Februari 2012

Jejak Soeharto : Dulu Talangsari Kini Mesuji


Jejak Soeharto : Dulu Talangsari Kini Mesuji

Dari sekian peristiwa berdarah di masa kepemimpinan Soeharto adalah peristiwa Talangsari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur.
Peristiwa Talangsari Lampung menjadi kisah tragis yang dilupakan negara. Ratusan orang yang saat itu menjadi korban seakan tidak berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, serta mendapatkan keadilan lewat penghukuman pelaku dan pemulihan hak-haknya. Bertahun-tahun, korban yang masih menderita atas peristiwa itu juga mengalami teror dan intimidasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Upaya damai lewat islah memberi dampak negatif terhadap hubungan antar sesama korban yang kemudian terpecah. Bergantinya pemerintahan juga tidak merubah sikap negara untuk mengusut tragedi ini. Negara justru terkesan berdiam diri dan pura-pura tidak mendengar suara korban.
******
Kamis Malam, 9  Feb 1989, pukul 21.00,  Acara televisi favorit saat itu, Dunia Dalam Berita TVRI. Panglima ABRI Jenderal TNI Try Soetrisno berseragam lengkap, tampil bicara.
Jenderal Try: “Saudara-saudara, sebangsa se-tanah air. Hari ini telah terjadi kerusuhan kecil di Talangsari, Lampung. Sekelompok GPK melakukan perlawanan terhadap prajurit TNI yang sedang melaksanakan tugas,” Jenderal Try menghela napas.
“Dalam kontak senjata, putera terbaik bangsa, Danramil Way Jepara, Kapten TNI Soetiman, gugur di medan tugas. Ia terkena panah beracun pihak GPK. Dua prajurit TNI lainnya terluka parah. Dari pihak GPK dilaporkan, enam tewas. Situasi di lokasi kejadian kini aman di bawah kendali prajurit TNI,” tutur Try.
Kisah berawal dari seorang tokoh bernama Warsidi yang dicurigai aparat karena ingin membuat gerakan  untuk menjadikan Negara Islam di Indonesia.
Aparat mencium aktivitas Warsidi dan  pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) dipimpin oleh Danramil Way Jepara  Kapten Soetiman mendatangi kediamannya untuk meminta keterangan kepada Warsidi beserta pengikutnya.Namun, kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan  perlawanan oleh pengikut Warsidi. Akibatnya, Kapten Soetiman tewas dan dikuburkan di Talangsari.Pemerintah langsung mengambil tindakan tegas dan mengirim tentara dari Korem Garuda Hitam tanggal 7 Februari 1989 yang saat itu dipimpin oleh Kol Hendropriyono.
Harinya Selasa, 7 Februari 1989. Umat Islam baru saja membenahi salat subuh. Tiba-tiba terdengar tembakan, gencar menyiram bangsal pengikut Warsidi di dukuh yang masuk bilangan Way Jepara, Lampung Tengah itu. Pekik tangis pecah ke angkasa, bersama desing peluru.
Danrem 043 Garuda Hitam Kol. Hendropriyono bersama lebih dari satu batalion pasukan infantri dibantu beberapa Kompi Brimob, CPM dan Polisi setempat mengepung dan menyerbu perkampungan Cihideung dengan posisi tapal kuda, marah bagai dirasuk dendam.
Dari arah Utara (Pakuan Aji), Selatan (Kelahang) & timur (Kebon Coklat, Rajabasa Lama). Sementara arah barat yang ditumbuhi pohon singkong dan jagung dibiarkan terbuka. pasukan yang dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat dan dua buah helikopter yang membentengi arah barat. Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran, dan tidak ada jalan keluar bagi jama’ah untuk meyelamatkan diri, jama’ah hanya bisa membentengi diri dengan membekali senjata seadanya. Tanpa ada dialog dan peringatan, penyerangan dimulai.
Pukul 07.00 : Karena kekuatan yang tidak seimbang, pasukan yang dipimpin mantan menteri Transmigrasi berhasil menguasai perkampungan jama’ah dan memburu jama’ah. Dalam perburuan itu, aparat memaksa Ahmad (10 th) anak angkat Imam Bakri sebagai penunjuk tempat-tempat persembunyian dan orang yang disuruh masuk kedalam rumah-rumah yang dihuni oleh ratusan jema’ah yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak. Setelah menggunakan Ahmad, aparat berhasil mengeluarkan paksa sekitar 20 orang ibu-ibu dan anak-anak dari pondok Jayus. Ibu Saudah, salah satu korban yang dikeluarkan paksa sudah melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan disana-sini hasil serangan aparat sejak pukul 05.30 tadi pagi.
Setelah dikumpulkan ke-20-an ibu-ibu dan anak-anak dipukul dan ditarik jilbanya sambil dimaki-maki aparat “Ini istri-istri PKI”. Didepan jama’ah seorang tentara mengatakan “Perempuan dan anak-anak ini juga harus dihabisi, karena akan tumbuh lagi nantinya”.
Pukul 07.30 : Tentara mulai membakar pondok-pondok yang berisi ratusan jama’ah dan anak-anak rumah panggung. dengan memaksa Ahmad menyiramkan bensin dan membakarnya. Dibawah ancaman senjata aparat, Ahmad berturut-turut diperintahkan untuk membakar rumah Jayus, Ibu Saudah, pondok pesantren dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang terdiri dari bayi, anak-anak, ibu-ibu banyak diantaranya yang masih hamil, remaja dan orang tua dibakar disertai dengan tembakan-tembakan untuk meredam suara-suara teriakan lainnya.
Sambil membakar rumah-rumah tersebut, Purwoko (10 th) dipaksa aparat untuk mengenali wajah Warsidi dan Imam Bakri diantara mayat-mayat jama’ah yang bergelimpangan. Mayat Pak War dan Imam Bakri ditemukan setelah Purwoko hampir membolak-balik 80-an mayat.
Pukul 09.30 : Setelah ditemukan, kedua mayat tersebut kemudian diterlentangkan di pos jaga jama’ah dengan posisi kepala melewati tempat mayat tersebut diterlentangkan (mendenga’-leher terbuka-). Tak berapa lama, seorang tentara kemudian menggorok leher kedua mayat tersebut.
Pukul 13.00  : Kedua puluhan ibu dan anak-anak tadi kemudian berjalan kaki sekitar 2 Km untuk dibawa ke Kodim 0411 Metro .
Pukul 16.00 : Hendropriyono mengintrogasi ibu-ibu tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan: Ikut pengajian apa? Apa yang diajarkan? Gurunya siapa? Dan menerangkan bahwa jama’ah Warsidi batil karena menentang Pancasila dan mengamalkan ajaran PKI.
Pukul 17.00 : Jama’ah kemudian dimasukan kedalam penjara. Sementara di Sidorejo pada pagi harinya atas informasi, Sabrawi, supir bis Wasis, aparat bersama warga mengepung rumah Zamjuri. Bersama Zamzuri ada 8 orang jema’ah yaitu: Munjeni, Salman Suripto, Soni, Diono, Roni, Fahrudin, Isnan dan Mursalin Karena dituduh perampok oleh aparat, terjadilah bentrok dengan Polsek Sidorejo. Serma Sudargo (Polsek Sidorejo), Arifin Santoso (Kepala Desa Sidorejo) tewas. Dipihak jama’ah, Diono, Soni dan Mursalin tewas.sedangkan Roni terluka tembak.
Kamis, 9 Februari 1989 Pukul 08.40 : Jama’ah yang marah mendengar kebiadaban dan penahanan jama’ah di Kodim 0411 Metro tersebut menyerbu Kodim dan Yonif 143. Dalam penyerbuan itu, 6 orang jama’ah tewas. Sedangkan dipihak aparat pratu Supardi, Kopda Waryono, Kopda Bambang Irawan luka-luka terkena sabetan golok. 1 sepeda motor terbakar dan kaca depan mobil kijang pick up pecah.
Dua minggu kemudian : Tahanan ibu-ibu di Kodim dipindahkan ke Korem 043 Gatam. Di Korem, Hendropriyono memerintahkan anak buahnya untuk melepas paksa jilbab-jilbab ibu-ibu jama’ah sambil berkata “tarik saja, itu hanya kedok”. Penangkapan sisa-sisa anggota jama’ah oleh aparat dibantu masyarakat oleh operasi yang disebut oleh Try Sutrisno Penumpasan hingga keakar-akarnya; Penangkapan para aktivis islam di Jakarta, Bandung, solo, Boyolali, mataram, Bima & dompu melalui operasi intelejen yang sistematis yang banyak diantaranya sama sekali tidak mengetahui kejadian.
*****
Jumlah korban simpang-siur. Menurut versi tentara, korban tewas 27 orang. Tapi sejumlah lembaga swadaya masyarakat menghitung 246 korban tewas. Pemerintah memburu jaringan kelompok ini ke Jakarta dan Jawa Tengah. Beberapa pengikut tertangkap, dijebloskan ke bui.
Seperti tragedi kemanusiaan lainnya, suara korban Talangsari baru didengar setelah Soeharto jatuh, 21 Mei 1998. Korban dan aktivis kemanusiaan menuntut pemerintah segera mengadili pelaku penembakan.
Pada Juni 2001, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki kasus ini. Hasilnya tak jelas. Belakangan, Komnas membentuk tim penyelidikan. Tim ini terjun ke lapangan mewawancarai korban, keluarga korban, dan sejumlah pelaku. Penyelidikan itu selesai pada pertengahan Mei 2006.
Penyelesaian kasus ini berkelok. Hasil kerja tim masih harus memasuki tahap analisis hukum. Pada tahap ini akan ditilik apakah tragedi Talangsari masuk kategori pelanggaran berat atau ringan. Hasil analisis itu pun harus dirapatkan lagi di pleno Komnas HAM.
Jika pleno menilai tidak terdapat pelanggaran berat hak asasi manusia, kasus ini cukup diselesaikan lewat peradilan umum. Tapi, jika terdapat pelanggaran berat hak asasi, penyelesaiannya bisa lewat dua pintu: Undang-Undang No. 26/2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, atau justru cukup lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Jalan berliku itu diprotes sejumlah aktivis hak asasi manusia dan korban Talangsari. Ahmad Fauzi Isnan, yang divonis 20 tahun penjara, berharap Komnas HAM bisa menyelesaikan kasus ini. Tentara yang terlibat, katanya, kini sudah jadi petinggi, malah berambisi menjadi penguasa. “Dengan segala cara, mereka akan berusaha agar tidak disebut penjahat perang,” katanya.
Sejumlah korban lain berharap pemerintah segera menuntaskan kasus ini. “Kami mendesak pemerintah segera membawa kasus ini ke pengadilan. Jangan berlama-lama,” kata Azwir Kaili, ketua keluarga korban Talangsari.
Hendropriyono sendiri lebih memilih jalur damai. Pada Februari 2000, ketika menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), ia mengundang 80 korban dan keluarga korban ke rumahnya di Jakarta, membahas jalur islah. Jalur damai ini ditentang sejumlah korban. Belakangan, beberapa korban yang ikut islah malah menarik diri. Kini kasus ini masih di tahap analisis hukum di Komnas HAM.
********
Kini Mesuji ……..
“Kita telah melawan, Nak, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya..” ~ Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer~

Sumber : Arsip Sejarah

Kebangkitan nasional atau kebangkitan elit Jawa?


Kebangkitan nasional atau kebangkitan elit Jawa?

Persoalan pertama telah menghadang ketika kita mencoba mempertanyakan tanggal 20 Mei 1908 sebagai hari kebangkitan nasional. Selama ini yang kita tahu dari tanggal tersebut hanyalah merupakan keputusan para siswa Sekolah Pendidikan dokter Boemiputra (School ter Opleiding van Indische Artsen) di weltevreden (sekarang Jakarta Pusat) sebagai permulaan untuk mendirikan suatu perhimpunan orang-orang jawa yang akan menjadi inti suatu Persatuan Umum di masa yang akan datang, seperti yang tercantum dalam deklarasi tanggal 20 Mei dalam bahasa Belanda itu. Dan tertulis jelas dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO
“Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.”
Inilah tujuan BO di awal berdirinya, memang bersifat Jawa-Madura sentris, dan sama sekali bukan kebangsaan.
Yang menarik justru reaksi yang hadir beberapa tahun belakangan ini yang mencoba meluruskan dan memaknai kembali peristiwa kebangkitan nasional. Bukan saja mempersoalkan tanggal peristiwa, namun juga esensi perjuangan dan bahkan nama-nama yang terlibat di dalamnya.
Diantaranya adalah dokumen tentang “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa
“BO (Boedi Oetomo)tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya,”
Menurut KH Firdaus AN Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 telah diperingati setiap tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Alasannya, berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis.
Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Karenanya Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei.
Perdebatan tentang tanggal dan esensi perjuangan BO bukan hanya berhenti di kelompok SI saja, Koordinator Indonesia Satu, Rr Berar Fathia menegaskan bahwa perintis Kebangkitan Nasional bukanlah Boedi Oetomo, melainkan Kartini. Berar mengatakan bahwa selama ini Kartini hanya dipandang sebagai pahlawan perempuan dan bukanlah tokoh yang memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan nasional. Menurut Berar, Boedi Oetomo hanya memiliki kebangsaan yang terbatas. Nasionalisme Jawa.
Namun Berar tidak menampik bahwa status Kartini sebagai bangsawan berpendidikan yang mewakili golongan elit, yang membuka kesempatannya untuk menyerap pemikiran modern. Komunikasinya dengan pihak Barat itu lebih mudah untuk menyerap pemikiran modern, Menurut Berar, seharusnya ini akhirnya juga dapat membuka peluang kepemimpinan alternatif perempuan tanpa kendaraan politik seperti parpol.
Yang terakhir, yang paling menarik adalah gugatan tersebut datang dari keluarga. Sejumlah anak cucu pendiri BO yang bergabung dalam Paguyuban Keluarga Besar Pendiri Boedi Oetomo menyatakan bahwa dr Wahidin Soedirohoesodo bukanlah pendiri BO. Mereka menuntut dilakukan pelurusan sejarah.
Kendatipun berbagai reaksi dari masyarakat beragam dalam melihat peristiwa ini, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah dimungkinkan merekonstruksi/dekonstruksi sejarah kita yang telanjur ditorehkan dalam buku-buku pelajaran dan hadir dalam pemikiran kita dalam bentuknya yang berbeda-beda.
Pengalaman menunjukkan bahwa dalam sejarah Indonesia, gelar pahlawan nasional yang sudah diangkat tidak pernah dicabut. Riwayat hidupnya diajarkan sejak bangku sekolah dasar. Perjuangan mereka menjadi inspirasi dan teladan segenap anggota masyarakat, termasuk generasi muda. Namun kenyataannya, ada pula pahlawan nasional (diangkat tahun 1963) yang jarang sekali mendapatkan pembahasan dan tempat yang memadai dalam pengajaran sejarah semasa Orde Baru, yakni Tan Malaka.
Jika kita sepakat bahwa kebangkitan nasional yang pada awalnya mempunyai karakter jawa sentris ini diperlakukan sebagai “pembuka” menuju gerakan atau kebangkitan Nasional yang lebih plural dan masif, maka pertanyaan mendasarnya adalah apakah gerakan yang lebih bersifat plural ini telah teruji dalam perjalanannya selama seabad ini? Bagaimana penjelasannya dalam kasus Aceh, Papua, Ambon, Poso dan daerah-daerah lain yang justru melahirkan wacana untuk merdeka dari Indonesia? Wacana melepaskan diri dari Indonesia yang dianggap bergabung dengannya justru merupakan suatu persoalan. Apakah kebangkitan nasional saat ini belum beranjak dari karakter awalnya ketika BO terbentuk?

Sejarah Munculnya “Istilah Filsafat Sejarah”


Sejarah Munculnya “Istilah Filsafat Sejarah”

Lahirnya filsafat sejarah, menurut peneliti modern, karena kecenderungan manusia yang terkenal sebagai “hewan sejarah”. Manusia, sejak zaman kuno tidak henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang ada dan terjadi disekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang bisa menguraikan geraknya- dari segi faktor-faktor yang membangkitkannya dan dari akibat-akibat yang dihasilkannya. Sebatas pengalaman yang dimiliki.
Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia, merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada pemahaman dan pengkajian peristiwa secara filosofis.
Istilah filsafat sejarah itu sendiri sebenarnya, bukan berarti pengalihan dari penggabungan dua arti secara etimologis, yaitu kata filsafat dan sejarah, tetapi lebih dari itu, sebagai pembahasan satu disiplin. Ia memiliki wawasan, pembahasan, metode, paradigma atau persfektif tersendiri.
Apabila ditilik dari penggunaan istilahnya, ahli yang mula-mula menggunakan istilah filsafat sejarah adalah Voltaire. Mula-mula Voltaire menggunakannya dalam kata pengantar karyanya yang berjudul Essay sur les moerre et l’espirit de nations. Kata pengantar buku itu sendiri berjudul Philosophie de l’historie, yang berarti filsafat sejarah. Buku tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis Voltaire dalam rentang tahun 1753-1758 M. Sejak saat itu, tepatnya pada saat istilah itu digunakan pada tahun 1756 M, istilah filsafat sejarah sudah mulai dikenal secara luas oleh masyarakat.
Voltaire, dengan demikian, terkenal sebagai tokoh yang mula-mula menggunakan istilah filsafat sejarah. Hanya saja dalam penyusunan dan perentangan definisi suatu istilah, dengan ruang lingkup kajian filsafat sejarah secara sistematis dan panjang lebar, istilah itu dipopulerkan oleh Herder. Herder mengungkapkannya dalam karya enam jilidnya yang berjudul Ideen sur Philosophie der geschichte der menscheit. Herder lah yang mula-mula merumuskan ranah pembahasan dan permasalahan filsafat sejarah.
Menurut sebagian ahli, istilah filsafat sejarah itu sendiri kadang-kadang cenderung disamakan dengan istilah “teori sejarah”. Akan tetapi diakui, berdasarkan kenyataan, istilah filsafat sejarah lebih popular digunakan ahli sejarah, terutama ahli sejarah negeri Belanda. Adapun di Inggris, Jerman dan Prancis memakai padanan istilah dengan “sejarah filsafat”.
Pendefinisian Filsafat Sejarah.
Nouruzzaman Shiddiqie mendefinisikan filsafat sejarah atau yang disebut dengan Philosophical History adalah sebagai upaya :
……Pengkajian dan penelaahan peristiwa-peristiwa sejarah dengan mempetimbangkan kebenaran dan kepalsuannya. Disamping itu, dia memberikan komentar-komentar dan stimulant-stimulan, baik yang lahir maupun yang tersembunyi. Selanjutnya, dia menunjukan pula tantangan-tantangan dan jawaban-jawaban yang diberikan pada masa itu. Bahkan juga, dia meramalkan kemungkinan akan kembalinya peristiwa yang seperti itu, serta memberikan jalan keluar bagaimana cara mencegahnya, agar jangan sampai terjadi kembali, jika peristiwa itu tidak menyenangkan. Dia juga memperbandingkan peristiwa itu dengan peristiwa lain yang serupa, mencari persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya, dan selanjutnya menarik kesimpulan-kesimpulan.
Sementara Zainab  al-Hudhairi mendefinisikan filsafat sejarah sebagai tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa histotis secara filosofis, untuk mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan perjalanan histories itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hokum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan pada perkembangan bangsa dan Negara dalam berbagai masa dan generasi.
Sumber ; Buku “Filsafat Sejarah dalam ISLAM” Drs. Misri A. Muchsin, MA.
              - Arsip Sejarah