Pages

Subscribe:

Labels

Rabu, 29 Februari 2012

Kebangkitan nasional atau kebangkitan elit Jawa?


Kebangkitan nasional atau kebangkitan elit Jawa?

Persoalan pertama telah menghadang ketika kita mencoba mempertanyakan tanggal 20 Mei 1908 sebagai hari kebangkitan nasional. Selama ini yang kita tahu dari tanggal tersebut hanyalah merupakan keputusan para siswa Sekolah Pendidikan dokter Boemiputra (School ter Opleiding van Indische Artsen) di weltevreden (sekarang Jakarta Pusat) sebagai permulaan untuk mendirikan suatu perhimpunan orang-orang jawa yang akan menjadi inti suatu Persatuan Umum di masa yang akan datang, seperti yang tercantum dalam deklarasi tanggal 20 Mei dalam bahasa Belanda itu. Dan tertulis jelas dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO
“Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.”
Inilah tujuan BO di awal berdirinya, memang bersifat Jawa-Madura sentris, dan sama sekali bukan kebangsaan.
Yang menarik justru reaksi yang hadir beberapa tahun belakangan ini yang mencoba meluruskan dan memaknai kembali peristiwa kebangkitan nasional. Bukan saja mempersoalkan tanggal peristiwa, namun juga esensi perjuangan dan bahkan nama-nama yang terlibat di dalamnya.
Diantaranya adalah dokumen tentang “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa
“BO (Boedi Oetomo)tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya,”
Menurut KH Firdaus AN Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 telah diperingati setiap tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Alasannya, berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis.
Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Karenanya Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei.
Perdebatan tentang tanggal dan esensi perjuangan BO bukan hanya berhenti di kelompok SI saja, Koordinator Indonesia Satu, Rr Berar Fathia menegaskan bahwa perintis Kebangkitan Nasional bukanlah Boedi Oetomo, melainkan Kartini. Berar mengatakan bahwa selama ini Kartini hanya dipandang sebagai pahlawan perempuan dan bukanlah tokoh yang memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan nasional. Menurut Berar, Boedi Oetomo hanya memiliki kebangsaan yang terbatas. Nasionalisme Jawa.
Namun Berar tidak menampik bahwa status Kartini sebagai bangsawan berpendidikan yang mewakili golongan elit, yang membuka kesempatannya untuk menyerap pemikiran modern. Komunikasinya dengan pihak Barat itu lebih mudah untuk menyerap pemikiran modern, Menurut Berar, seharusnya ini akhirnya juga dapat membuka peluang kepemimpinan alternatif perempuan tanpa kendaraan politik seperti parpol.
Yang terakhir, yang paling menarik adalah gugatan tersebut datang dari keluarga. Sejumlah anak cucu pendiri BO yang bergabung dalam Paguyuban Keluarga Besar Pendiri Boedi Oetomo menyatakan bahwa dr Wahidin Soedirohoesodo bukanlah pendiri BO. Mereka menuntut dilakukan pelurusan sejarah.
Kendatipun berbagai reaksi dari masyarakat beragam dalam melihat peristiwa ini, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah dimungkinkan merekonstruksi/dekonstruksi sejarah kita yang telanjur ditorehkan dalam buku-buku pelajaran dan hadir dalam pemikiran kita dalam bentuknya yang berbeda-beda.
Pengalaman menunjukkan bahwa dalam sejarah Indonesia, gelar pahlawan nasional yang sudah diangkat tidak pernah dicabut. Riwayat hidupnya diajarkan sejak bangku sekolah dasar. Perjuangan mereka menjadi inspirasi dan teladan segenap anggota masyarakat, termasuk generasi muda. Namun kenyataannya, ada pula pahlawan nasional (diangkat tahun 1963) yang jarang sekali mendapatkan pembahasan dan tempat yang memadai dalam pengajaran sejarah semasa Orde Baru, yakni Tan Malaka.
Jika kita sepakat bahwa kebangkitan nasional yang pada awalnya mempunyai karakter jawa sentris ini diperlakukan sebagai “pembuka” menuju gerakan atau kebangkitan Nasional yang lebih plural dan masif, maka pertanyaan mendasarnya adalah apakah gerakan yang lebih bersifat plural ini telah teruji dalam perjalanannya selama seabad ini? Bagaimana penjelasannya dalam kasus Aceh, Papua, Ambon, Poso dan daerah-daerah lain yang justru melahirkan wacana untuk merdeka dari Indonesia? Wacana melepaskan diri dari Indonesia yang dianggap bergabung dengannya justru merupakan suatu persoalan. Apakah kebangkitan nasional saat ini belum beranjak dari karakter awalnya ketika BO terbentuk?

Komentar nganggo id Facebook di handap ieu

0 komentar: